Senin, 08 Agustus 2011

Cukup S1 saja atau melanjutkan S3 ?? (sebuah cerita penggugah hati)

15 Januari 2008,, hari yang ia nantikan, hari yang menentukan terwujudnya terwujudnya asa dan citanya dulu. Ya, dulu, karena kini keraguan mulai menyusupi celah-celah mimpinya. Ia sangat menyadari siapa dia sekarang, orientasinya tak lagi sama seperti dulu. Baginya kini tak seharusnya lagi berambisi mengejar pendidikan hiangga bergelar magister atau doctor, kalau toh kelak steelah ia menikah ia hanya harus mencukupkan diri menjadi pendamping yang baik bagi suaminya.

Pikiran itu membuat perempuan berbalut kerusung lebar warna hijau itu bimbang. Lagi-lagi ia hanya menatap layar laptop di depannya. Berat sekali tangan mahasiswi S1 ITB semester akhir itu menekan tombol ENTER. Hati kecilnya sangat berharap seleksi beasiswa S2 dan S3 nya lolos, tetapi kenyataan justru membuat ia takut, takut jika kabar baik itu benar-benar menyapanya, ia justru berkata tidak.

Tetapi berapa kali pun ia berpikir, itu hanya akan berkahir pada pilihan bahwa ia harus tahu hasilnya, meski apapun yang akan menjadi keputusannya nanti. “Ya, aku memang harus tahu..”, lirihnya mencoba berulangkali meyakinkan hatinya sendiri. Dan ENTER, jarinya tak terbendung lagi menekan tombol besar di keyboard laptopnya itu. Koneksi internet yang berkecepatan cukup “bersahaja” itu memberinya waktu untuk menghela nafas dalam-dalam, menenangkan hati sebelum melihatnya.

RAHMANIAR KESUMA
SELAMAT, ANDA LOLOS SELEKSI BEASISWA PROGRAM MAGISTER DAN DOKTOR

Hanya dua kalimat itu yang sempat terbaca, itupun sudah cukup membuat Niar terkejut, ia tidak menyangka nahwa ketakutan harus menjadi kenyataan. Wajahnya tak sanggup membohongi kebahagiaan bahwa jalan menggapai mimpi masa lalunya begitu lengang, tak seterjal yang ia bayangkan justru ketika mimpi itu benarp-benar menguasai hatinya. Namu, untuk apa semua itu kalau pada akhirnya Niar harus mengatakan,”maaf kurasa aku tak sanggup mengambilnya”. Sebenarnya bukan karena apa-apa, ia hanya merasa bahwa semua pengorbanan waktu untuk menuntut S3 akan mubadzir, apalagi jika kelak suaminya memintanya cukup menjadi ibu rumah tangga, begitu mubadzir rasanya. Ia berpikir bahwa aka nada banyak hal lain yang lebih bermanfaat yang bisa ia lakukan jika ia menolak beasiswa itu.

“ Kalau saja aku tidak lolos, mungkin semua ini tidak akan menjadi sesulit ini, mungkin keputusan untuk tidak terus sekolah hingga S3 tak akan seberat ini, mungkin penyesalan untuk mengabaikan mimpi masa laluku tidak akan sedalam ini Li..,” begitu Niar berkeluh di hadapan Lia sahabatnya.

“Ia Niar, aku sangat paham posisimu. Tapi Allah tidak pernah melarang kita para perempuan untuk bersekolah tinggi, kamu saja yang mempersulit diri. Kamu bisa menikah kapanpun kamu mau, menikah tidak akan menghalangimu untuk menuntut ilmu hingga S3..” panjang lebar Lia berusaha membujuk Niar.. 

BERSAMBUNG.......


(Retell by Aditya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar